Entri Populer

Minggu, 27 Maret 2011

Rekonsiliasi Hukum dan Dampak Sosial Politik di Masyarakat


Salah satu upaya Negara untuk membangun kembali bangsa Indonesia yang sarat dengan konflik sosial dan korban militerisme adalah dengan membuat mekanisme penyelesaian secara hukum, yaitu dengan pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi. Upaya ini sepertinya dilandasi pemikiran yang amat bijak: Untuk mengungkap kebenaran  serta menegakkan keadilan dan membentuk budaya menghargai hak asasi manusia sehingga dapat diwujudkan  persatuan nasional. Tujuan pengungkapan kebenaran yang dinyatakan Negara adalah untuk kepentingan para korban atau keluarga korban yang merupakan ahli warisnya untuk mendapatkan kompensasi, restitusi, dan/atau rehabilitasi.
Namun demikian, kita memang harus mulai memikirkan apakah produk hukum Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi ini memang mampu menyelesaikan masalah? Apakah mekanisme hukum yang ada mampu menyelesaikan konflik sosial, militerisme dan menghancurkan tembok-tembok yang ada di kehidupan masyarakat kita? Mari kita cermati satu persatu dan dampak apa yang mungkin menyertainya:

I. Makna kebenaran

Kebenaran di sini dibatasi pada suatu peristiwa yang dapat diungkap berkenaan dengan pelanggaran hak asasi manusia yang berat, baik mengenai korban, pelaku, tempat maupun waktu. Kata dapat diungkap di sini amat tergantung pada kemampuan, kewenangan dan kemauan komisi. Tentunya juga yang terutama adalah itikad baik pihak pelaku dan itikad baik Negara untuk mengungkapkannya. Ada begitu banyak wilayah abu-abu dalam aturan hukum yang memungkinkan pelaku untuk menghindarkan diri dari kewajiban mengungkapkan fakta. Contoh kasus hukum yang paling baru dan jelas adalah upaya penyelidikan pada kasus pelanggaran HAM yang berat Kerusuhan rasial 13-15 Mei 1998.
  1. Sikap para penanggung jawab keamanan Jakarta yang tergabung dalam Operasi Mantap Jaya, Gubernur DKI Jakarta: Mereka semua menolak untuk memberikan kesaksian dengan alasan bahwa perlu ada rekomendasi dari DPR RI untuk mengungkap kasus pelanggaran HAM yang berat di masa yang lalu.
  2. Sikap beberapa aparat militer dan saksi yang menolak bersaksi karena menjaga nama baik korps atau merasa tidak ada jaminan keamanan;
  3. Sikap pihak kepolisian yang menolak memberikan keterangan apapun mengenai kasus ini, pertama karena mengikuti pandangan bahwa belum ada rekomendasi DPR RI dan kedua mengingat pengalaman mereka yang “dikorbankan” dalam kasus yang lain.
Kasus ini masih mandek di Kejaksaan Agung sampai sekarang (belum disidik). Dua hari yang lalu Kejaksaan Agung menyatakan  itikad untuk membuat gelar perkara kasus Mei 1998. Namun itikad  ini pun patut kita pertanyakan hakikatnya. Seandainya benar gelar kasus adalah untuk mengungkap kebenaran – menggelar kebenaran, mengapa proses ini akan dilaksanakan tanpa melalui prosedur yang sewajarnya. Sampai saat ini Kejaksaan Agung belum memanggil seorang pun untuk bersaksi. Kebenaran macam apa yang mau diungkapkan pada saat para pihak yang terlibat dalam perkara tidak dihadirkan? Saya lebih melihat upaya itu justru untuk mengaburkan kebenaran, apalagi tujuan yang diungkapkan pihak Kejaksaan Agung adalah melihat esensi  tanggung jawab komando dalam kasus Mei 98! Kejaksaan Agung kemudian mengambil sikap pasif, menunggu terbentuknya Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi.

Namun terbentuknya Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi ini sepertinya tidak akan mengubah hakikat problem pengungkapan kebenaran.  Setidaknya ada beberapa problem besar yang akan kita hadapi:
  1. keamanan para saksi, pelaku atau korban:  Masalah keamanan ini terus menerus menjadi masalah yang tidak selesai. Banyak kasus di mana pelaku yang tertangkap langsung dibakar massa. Hal ini tentu menjadi hal yang diperhitungkan pelaku. Banyak kasus itu di mana korban tidak berani bicara mengungkapkan fakta kebenaran. Mereka beranggapan bahwa pengungkapan fakta kebenaran tidak rasional karena tidak disertai dengan jaminan keselamatan jiwa mereka.
  2. Makna “menjaga nama baik korps” yang lebih banyak diartikan untuk tidak bicara apapun yang negatif mengenai korps, walau itu adalah kebenaran.
  3. Kepentingan Negara, lembaga atau pribadi yang bersangkutan ke depan. Negara lebih memilih menyatakan bahwa kasus Mei 1998 tidak ada pada dunia internasional daripada mengakui bahwa kasus itu ada dan sedang diupayakan penyelesaiannya. Laporan Pemerintah Indonesia pada PBB justru menggambarkan betapa indahnya kehidupan di negara kita ini: tidak ada diskriminasi rasial, semua hidup dengan rukun gotong royong. Yang ada hanyalah kesenjangan ekonomi. Nama baik untuk banyak pihak adalah  hal yang terpenting, apalagi bila kebenaran yang diungkapkan individu itu dianggap menyangkut nama baik keluarga atau klan.

II. Menilai kebenaran

Banyak orang yang melakukan pembunuhan pada orang-orang yang dicap komunis pada tahun 65 sampai tahun 70-an menilai bahwa perbuatannya adalah kebenaran Banyak alasan yang dijadikan pembenaran: orang yang dibunuh anti Tuhan, menghianati ideologi negara , orang itu telah membunuh 7 jenderal, membela diri atau di bawah perintah. Pembunuhan yang terjadi bukan hal yang disesali sampai sekarang. Tetap ada kebanggaan dengan perbuatannya. Saya pernah bertemu dengan sekelompok orang yang dengan bangga menyatakan siap membunuh seperti  pada masa yang lalu  mereka lakukan.

Bisa dibayangkan sejumlah besar pelaku pembunuhan membuat pengakuan dengan tanpa disertai rasa penyesalan di Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi.  Bukan tidak mungkin bahwa Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi justru menjadi ajang saling menuduh dan menyalahkan.

Namun proses hukum itulah yang tersedia. Proses hukum ini amat terbatas. Sebatas menerima pengakuan para pihak, mengklarifikasi dan meneruskan ke prosedur pemberian kompensasi, restitusi atau rehabilitasi. Itu pun sebatas perkara yang dianggap pelanggaran HAM yang berat. Namun perpecahan, konflik, stigma, prasangka yang hidup dan mengakar di masyarakat jauh lebih besar dan kompleks.

III. Menghargai Perbedaan Manusia

Tuhan menciptakan manusia sungguh unik. Keunikan yang indah, yang membuat manusia berbeda satu sama lainnya. Keindahan perbedaan ras, jenis kelamin, umur, budaya atau agama seharusnya memperkaya kita. Namun dalam kenyataannya kita justru kaya dengan konflik dan pengalaman pahit, pada beberapa kelompok lahir sentimen dan bahkan dendam. Dr. Budiono Kusumohamidjoyo sempat berujar bahwa”Masyarakat Indonesia termasuk di antara  masyarakat yang paling problematis di dunia”.

Selama ini kita dikotak-kotakkan kerena keunikan kita. Komunikasi tidak terjalin secara sehat karena kita dibiasakan untuk tidak bertanya apapun, tidak merdeka pun dalam berpikir. Terlalu banyak pengalaman menakutkan di masa lalu yang membuat masyarakat bukan hanya takut mengungkapkan kebenaran, tapi juga berpikir bahwa tidak ada gunanya melawan. Semua sudah tersistem, karenanya sistem politik hukum yang harus diubah. Namun politik dan hukum sesungguhnya lahir dari budaya masyarakat.

Bila masyarakat diam, memilih menerima segala bentuk diskriminasi, kekerasan militer atau pelanggaran hukum, maka itu menjadi sistem yang langgeng dan terus bertambah kuat.

Penting bagi kita mengingat hasil Kongres Kebudayaan di Bukittinggi 22 Oktober 2003 setahun yang lalu.  Setidaknya 3 hal penting berkaitan dengan problem rekonsiliasi  telah direkomendasikan:
  1. Kongres mendesak agar digali kearifan  maupun nilai-nilai yan gterdapat  di dalam warisan budaya untuk dikembangkan terus dala mmasyarakat yang multikultural dengan memperhatikan  peraturan dan undang-undang hak cipta, serta mendukung  upaya perlindungan hak yang dimiliki  secara tradisional;
  2. Kongres menyarankan reposisi dan reinterpretasi kritis  terhadap adat dan tradisi  yang mengandung potensi integrasi dan disintegrasi;
  3. Kongres  menyarankan  agar pemahaman multikultural  dilakukan  melalui pendidikan  dalam arti luas, baik melalui pendidikan formal, keluarga, media massa dan pranata sosial lainnya.
Masih ada 14 butir  rekomendasi dari kongres setahun yang lalu yang kesemuanya harus berhadapan dengan realitas sosial di masyarakat. 

Rekonsiliasi mungkin bisa kita bedakan menjadi dua hal, secara struktural dan kultural.  Rekonsiliasi struktural adalah segala upaya pengungkapan kebenaran dan menyelesaikan problem hukum yang berkaitan dengan pelanggaran HAM yang dilakukan secara struktural. Sedangkan yang dimaksud di sini dengan rekonsilasi kultural adalah rekonsiliasi akar rumput di antara pihak-pihak dalam masyarakat yang sempat terlibat dalam konflik.

Blitar Selatan merupakan contoh kasus yang menarik untuk memotret kerumitan upaya rekonsiliasi akar rumput:
  • Januari 2001 dimulai investigasi untuk mengungkap kebenaran peristiwa Operasi Trisula 1968;
  • Maret  2002 penduduk desa Kedunganti Blitar Selatan mulai membuka pikiran dan hati mereka untuk peduli terhadap para korban pembunuhan akibat Operasi Trisula 1968;
  • Agustus  2002 diadakan pengangkatan batu-batu yang menutupi kerangka korban Operasi Trisula 1968;
  • Agustus 2002 Bupati Blitar melarang kegiatan  fact finding dilakukan. Beberapa ormas pun membuat pernyataan bahwa mereka siap bertaruh jiwa raga untuk menghadapi siapapun yang membangkitkan komunis di Blitar.
  • Pebruari 2003 Bupati Blitar dan sejumlah ormas melarang dilakukannya pelayanan medis untuk penduduk miskin di Kedunganti dengan pernyataan bahwa mereka adalah eks PKI (dalam media massa);
  • Agustus 2004 beberapa pemimpin agama di Blitar menyatakan bahwa menguburkan kembali dengan prosesi keagamaan pada orang yang sudah meninggal adalah perbuatan baik;
  • September 2004 Bupati dengan didukung oleh beberapa ormas dan puluhan penduduk desa Lorejo melarang kembali semua kegiatan yang berkaitan dengan penelitian, publikasi dan segala kegiatan yang berkaitan dengan pembunuhan tahun 1968.
Dalam kondisi pemerintahan dan masyarakat yang demikian tidak akan mungkin kita mencari penyelesaian hanya dengan mengandalkan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi atau menunggu peran pemerintah.  Keaktifan menggali kearifan  maupun nilai-nilai yang terdapat  di dalam warisan budaya masyarakat sepertinya adalah hal yang harus diperhitungkan untuk para pihak bisa duduk bersama untuk mengikis prasangka dan mencari solusi masalah pelanggaran berat hak asasi manusia yang telah terjadi. Sepertinya kita perlu menurunkan butir rekomendasi menjadi kerja kongkrit terfokus untuk bisa bicara dan bekerja menyentuh danmengungkap kebenaran.***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar